PATAH DAN TUMBUH, HILANG TETAPI TIDAK BERGANTI
Plesetan dari pepatah yang sebenarnya berbunyi “patah dan tumbuh hilang berganti’ itu mungkin identik dengan pengelolaan hutan Indonesia saat ini, khususnya terjadi pada daerah Kalimantan Barat. Dikatakan “patah”, karena hutan Kalimantan Barat setiap hari habis dibabat oleh pembalak liar. “Tumbuh”, karena program-program reboisasi dan penghijauan terus digulirkan, Akan tetapi, hasilnya “hilang tidak berganti” karena program tersebut kandas ditengah jalan dan tidak sebanding dengan tingginya deforestasi yang terjadi.
Masalah kehutanan di Kalimantan Barat semakin hari semakin hangat dibicarakan oleh berbagai pihak. Apalagi belum lama ini, Mabes Polri berhasil menangkap pelaku illegal logging / pembalakan liar beserta belasan ribu meter kubik kayu hasil Illegal Loggingnya. Selang beberapa hari, dibarengi penahanan pejabat-pejabat yang seharusnya menjaga dan memelihara hutan serta penahanan perwira-perwira yang seharusnya menangkap pelaku illegal logging karena ikut terlibat dalam membabat hutan di Bumi Khatulistiwa.
Kerusakan hutan di Indonesia sudah semakin parah termasuk di Provinsi Kalimantan Barat. Sampai-sampai Indonesia masuk Guinnes Book of Record sebagai negara dengan deforestasi tercepat di dunia. Bagaimana tidak, pada tahun 2005, kerusakan hutan akibat penebangan liar di Kalimantan Barat saja mencapai 63.068,26 M3 ( Dinas Kehutanan Kal-Bar). Itu yang tercatat di atas kertas, dan belum lagi ditambah kerusakan hutan akibat HPH dan HTI, perkebunan skala besar, transmigrasi, perambahan hutan, pertambangan emas tanpa izin ( PETI ) dan kebakaran hutan. Suatu saat, republik ini memiliki Departemen Kehutanan tetapi tidak memiliki hutan. Kementerian ini lalu hanya mengurusi kawasan hutan yang sudah tidak memiliki tegakan, alias tidak berpohon.
Saat ini, dengan berlakunya otonomi daerah serta dalam menyongsong AFTA perdagangan bebas. Banyak kebijakan pemerintah daerah yang dibuat untuk memberikan izin pengkonversian hutan dan perkebunan kepada para investor asing maupun dalam negeri. Itu dilakukan karena untuk memperbesar PAD yang akan diterima. Tapi perlu diingat, dibalik PAD yang besar, hal tersebut juga berdampak buruk bagi lingkungan yang pada akhirnya juga ikut meyumbang kerusakan hutan. Buktinya, di Kalimantan Barat sendiri, dua bupati menerima surat teguran dari Menteri Kehutanan karena memberikan izin kepada perusahaan perkebunan yang lokasinya tumpang tindih dengan hutan produksi dan hutan lindung. Jika kondisinya seperti itu, pantas saja tahun lalu hampir disemua kabupaten di Kalimantan Barat terkena banjir.
Hutan merupakan bagian dari sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara langsung terutama dengan memanfaatkan kayu yang ada didalamnya. Dilain sisi, ternyata hutan lebih bermanfaat untuk penyelamatan lingkungan hidup. Apakah kita yakin konversi hutan yang katanya legal itu dapat mempertahankan hutan seperti aslinya? jika tidak, apakah kita ingin hal ini terus berlanjut demi PAD yang besar bagi daerah yang kaya tapi lingkungannya rusak ? tidak perlu menuding siapa-siapa yang merusak hutan, karena yang penting adalah sekarang saatnya membangun kembali hutan Kalimantan Barat. Untuk membangun kembali hutan, hal-hal yang patut dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, memberantas praktek-praktek illegal logging. Selama ini, illegal logging dianggap sebagai penyebab utama rusaknya hutan-hutan di Kalimantan Barat. Aksi penggundulan hutan makin merajalela pascareformasi. Jaringan pelakunya sangat luas, melibatkan cukong kayu, oknum petugas/pejabat kehutanan, bea cukai, kepolisian, TNI, pelayaran rakyat, pemerintah daerah, kejaksaan, pengadilan, serta politisi. Green Peace pada tahun 2003 mencatat, 88 persen kayu yang masuk industri domestik didapat secara ilegal. Berarti industri kayu hanya menggunakan 12 persen bahan baku yang diperoleh secara legal.
Untuk itu, diperlukan keseriusan pemerintah untuk memberantas illegal logging. Mulai dari membuat produk hukum yang dapat menjerat pelaku intelektual dan para beking illegal logging, tidak hanya mereka yang dengan sengaja melakukan penebangan, membawa, menguasai, dan mengangkut kayu tanpa izin-izin yang sah. Selain itu, pemerintah harus lebih tegas dan berani untuk menendang orang-orang di sekeliling mereka yang terbukti terlibat illegal logging, siapapun orangnya. Penanganan langsung oleh orang nomor satu di kepolisian RI di Kabupaten Ketapang, merupakan angin segar dalam persoalan illegal logging;
Langkah kedua, mulailah merehabilitasi lahan kritis dan melakukan reboisasi secara terprogram dan terencana dengan baik. Dari realisasi penerimaan iuran kehutanan tahun 2005, Kalimantan Barat menerima dana reboisasi senilai Rp. 82.243.630.687,85 (BPS Kal-Bar), dana yang lebih dari cukup untuk membangun kembali hutan Kalimantan Barat. Itu belum termasuk dana asing dan dermawan yang peduli lingkungan. Akan tetapi, melihat kondisi dilapangan sungguh menyedihkan, lahan-lahan kritis tetap merana, kita pun bertanya-tanya, ada apa gerangan?
Rencana aksi trilateral ( Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia ) dalam “Heart of Borneo” merupakan babak baru dalam melestarikan dan menjaga kawasan ‘Jantung Kalimantan’. Untuk itu, kita harus tetap memantau dan mengawasi agar program tersebut dan program-program rehabilitasi lahan lainnya tidak senyap dan bocor di tengah jalan;
Ketiga, berhentilah mengkonversi hutan secara besar-besaran. Carilah alternatif lain untuk memanfaatkan hutan tetapi turut serta memulihkan dan melestarikan kehutanan Indonesia dan Kalimantan Barat ini yang telah berada di ambang kehancuran dan ancaman musibah yang akan menimpa dimasa depan.
Alternatif lain misalnya dengan Carbon Trading atau bisa juga dengan menggunakan hutan sebagai estetika. Tidak menutup kemungkinan, dengan hutan yang masih terjaga dan lestari kita bisa mengembangkan bidang pariwisata dan menjual nilai estetika yang ada didalam hutan itu. Tetapi harus diingat pula, agar tujuan pelestarian hutan dapat tercapai, maka keuntungan yang didapatkan dari carbon trading dan penjualan estetika hutan itu juga harus dinikmati oleh masyarakat yang berada di tempat rehabilitasi hutan itu. Dengan menikmati keuntungan tersebut, maka mereka akan merasa lebih memiliki dan berkepentingan untuk memelihara hutan itu.
Dalam teori ilmu kehutanan dinyatakan bahwa pada dasarnya dari areal hutan itu tidak ada penebangan pohon, sebab asas pemanfaatan hutan itu adalah "sustained yield principle", layaknya manajemen hutan, hutan normatif harus mengindahkan konsep bahwa setiap penebangan harus selalu diikuti dengan penanaman, atau menebang dengan meninggalkan permudaan alam/tegakan sisa yang belum cukup tebang berdasarkan diameternya. Tegakan/permudaan yang ditinggalkan itu akan dipanen pada saat siklus tebang telah kembali keawal yaitu sekitar 20 tahun kemudian. Itulah konsep kehutanan yang ideal dengan kondisi yang diinginkan bisa diasumsikan dan dapat dipenuhi. Jika teori tentang kehutanan itu bisa berjalan seindah warna aslinya, tentu hutan Kalimantan Barat akan tetap teruntai bagai “jamrud di khatulistiwa”
Masalah kehutanan di Kalimantan Barat semakin hari semakin hangat dibicarakan oleh berbagai pihak. Apalagi belum lama ini, Mabes Polri berhasil menangkap pelaku illegal logging / pembalakan liar beserta belasan ribu meter kubik kayu hasil Illegal Loggingnya. Selang beberapa hari, dibarengi penahanan pejabat-pejabat yang seharusnya menjaga dan memelihara hutan serta penahanan perwira-perwira yang seharusnya menangkap pelaku illegal logging karena ikut terlibat dalam membabat hutan di Bumi Khatulistiwa.
Kerusakan hutan di Indonesia sudah semakin parah termasuk di Provinsi Kalimantan Barat. Sampai-sampai Indonesia masuk Guinnes Book of Record sebagai negara dengan deforestasi tercepat di dunia. Bagaimana tidak, pada tahun 2005, kerusakan hutan akibat penebangan liar di Kalimantan Barat saja mencapai 63.068,26 M3 ( Dinas Kehutanan Kal-Bar). Itu yang tercatat di atas kertas, dan belum lagi ditambah kerusakan hutan akibat HPH dan HTI, perkebunan skala besar, transmigrasi, perambahan hutan, pertambangan emas tanpa izin ( PETI ) dan kebakaran hutan. Suatu saat, republik ini memiliki Departemen Kehutanan tetapi tidak memiliki hutan. Kementerian ini lalu hanya mengurusi kawasan hutan yang sudah tidak memiliki tegakan, alias tidak berpohon.
Saat ini, dengan berlakunya otonomi daerah serta dalam menyongsong AFTA perdagangan bebas. Banyak kebijakan pemerintah daerah yang dibuat untuk memberikan izin pengkonversian hutan dan perkebunan kepada para investor asing maupun dalam negeri. Itu dilakukan karena untuk memperbesar PAD yang akan diterima. Tapi perlu diingat, dibalik PAD yang besar, hal tersebut juga berdampak buruk bagi lingkungan yang pada akhirnya juga ikut meyumbang kerusakan hutan. Buktinya, di Kalimantan Barat sendiri, dua bupati menerima surat teguran dari Menteri Kehutanan karena memberikan izin kepada perusahaan perkebunan yang lokasinya tumpang tindih dengan hutan produksi dan hutan lindung. Jika kondisinya seperti itu, pantas saja tahun lalu hampir disemua kabupaten di Kalimantan Barat terkena banjir.
Hutan merupakan bagian dari sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara langsung terutama dengan memanfaatkan kayu yang ada didalamnya. Dilain sisi, ternyata hutan lebih bermanfaat untuk penyelamatan lingkungan hidup. Apakah kita yakin konversi hutan yang katanya legal itu dapat mempertahankan hutan seperti aslinya? jika tidak, apakah kita ingin hal ini terus berlanjut demi PAD yang besar bagi daerah yang kaya tapi lingkungannya rusak ? tidak perlu menuding siapa-siapa yang merusak hutan, karena yang penting adalah sekarang saatnya membangun kembali hutan Kalimantan Barat. Untuk membangun kembali hutan, hal-hal yang patut dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, memberantas praktek-praktek illegal logging. Selama ini, illegal logging dianggap sebagai penyebab utama rusaknya hutan-hutan di Kalimantan Barat. Aksi penggundulan hutan makin merajalela pascareformasi. Jaringan pelakunya sangat luas, melibatkan cukong kayu, oknum petugas/pejabat kehutanan, bea cukai, kepolisian, TNI, pelayaran rakyat, pemerintah daerah, kejaksaan, pengadilan, serta politisi. Green Peace pada tahun 2003 mencatat, 88 persen kayu yang masuk industri domestik didapat secara ilegal. Berarti industri kayu hanya menggunakan 12 persen bahan baku yang diperoleh secara legal.
Untuk itu, diperlukan keseriusan pemerintah untuk memberantas illegal logging. Mulai dari membuat produk hukum yang dapat menjerat pelaku intelektual dan para beking illegal logging, tidak hanya mereka yang dengan sengaja melakukan penebangan, membawa, menguasai, dan mengangkut kayu tanpa izin-izin yang sah. Selain itu, pemerintah harus lebih tegas dan berani untuk menendang orang-orang di sekeliling mereka yang terbukti terlibat illegal logging, siapapun orangnya. Penanganan langsung oleh orang nomor satu di kepolisian RI di Kabupaten Ketapang, merupakan angin segar dalam persoalan illegal logging;
Langkah kedua, mulailah merehabilitasi lahan kritis dan melakukan reboisasi secara terprogram dan terencana dengan baik. Dari realisasi penerimaan iuran kehutanan tahun 2005, Kalimantan Barat menerima dana reboisasi senilai Rp. 82.243.630.687,85 (BPS Kal-Bar), dana yang lebih dari cukup untuk membangun kembali hutan Kalimantan Barat. Itu belum termasuk dana asing dan dermawan yang peduli lingkungan. Akan tetapi, melihat kondisi dilapangan sungguh menyedihkan, lahan-lahan kritis tetap merana, kita pun bertanya-tanya, ada apa gerangan?
Rencana aksi trilateral ( Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia ) dalam “Heart of Borneo” merupakan babak baru dalam melestarikan dan menjaga kawasan ‘Jantung Kalimantan’. Untuk itu, kita harus tetap memantau dan mengawasi agar program tersebut dan program-program rehabilitasi lahan lainnya tidak senyap dan bocor di tengah jalan;
Ketiga, berhentilah mengkonversi hutan secara besar-besaran. Carilah alternatif lain untuk memanfaatkan hutan tetapi turut serta memulihkan dan melestarikan kehutanan Indonesia dan Kalimantan Barat ini yang telah berada di ambang kehancuran dan ancaman musibah yang akan menimpa dimasa depan.
Alternatif lain misalnya dengan Carbon Trading atau bisa juga dengan menggunakan hutan sebagai estetika. Tidak menutup kemungkinan, dengan hutan yang masih terjaga dan lestari kita bisa mengembangkan bidang pariwisata dan menjual nilai estetika yang ada didalam hutan itu. Tetapi harus diingat pula, agar tujuan pelestarian hutan dapat tercapai, maka keuntungan yang didapatkan dari carbon trading dan penjualan estetika hutan itu juga harus dinikmati oleh masyarakat yang berada di tempat rehabilitasi hutan itu. Dengan menikmati keuntungan tersebut, maka mereka akan merasa lebih memiliki dan berkepentingan untuk memelihara hutan itu.
Dalam teori ilmu kehutanan dinyatakan bahwa pada dasarnya dari areal hutan itu tidak ada penebangan pohon, sebab asas pemanfaatan hutan itu adalah "sustained yield principle", layaknya manajemen hutan, hutan normatif harus mengindahkan konsep bahwa setiap penebangan harus selalu diikuti dengan penanaman, atau menebang dengan meninggalkan permudaan alam/tegakan sisa yang belum cukup tebang berdasarkan diameternya. Tegakan/permudaan yang ditinggalkan itu akan dipanen pada saat siklus tebang telah kembali keawal yaitu sekitar 20 tahun kemudian. Itulah konsep kehutanan yang ideal dengan kondisi yang diinginkan bisa diasumsikan dan dapat dipenuhi. Jika teori tentang kehutanan itu bisa berjalan seindah warna aslinya, tentu hutan Kalimantan Barat akan tetap teruntai bagai “jamrud di khatulistiwa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar