Sabtu, 23 Mei 2009

Opini

MEMBANGUN DAYA SAING AGROINDUSTRI NASIONAL


Pernah saya membaca artikel dari sebuah majalah yang bergerak di bidang agribisnis, artikelnya tulisan Handito Hadi Joewono yang berjudul “Ubi Manis Laris Manis”. Artikelnya mengupas tentang ketatnya persaingan agroindustri tanah air dalam menghadapi datangnya produk asing. Banyak hal yang memberikan masukan pada saya dalam menulis artikel ini. Berikut hal-hal pokok yang dapat saya sampaikan.

Globalisasi dan Perdagangan Bebas

Meskipun diyakini dapat memberikan banyak manfaat, sebagian orang khawatir dan bahkan skeptis tentang manfaat yang bisa didapatkan melalui perdagangan bebas internasional. Selama ini kita mendengar pernyataan atau slogan untuk menggunakan produk dalam negeri dan mencintai produk dalam negeri. Akan tetapi, produsen dalam negeri tetap khawatir barang yang diproduksinya tidak akan mampu bersaing menghadapi produk berkualitas dari luar negeri yang berharga murah.

Selama ini terus terjadi perdebatan tentang manfaat perdagangan internasional, dalam kenyataannya perdagangan internasional terus meningkat. Indonesia ikut arus dalam sistem perdagangan internasional melalui keikutsertaan di ASEAN Free Trade Area (AFTA), APEC, maupun World Trade Organization (WTO).

Melalui berbagai kesepakatan internasional tersebut tercipta persaingan yang semakin ketat. Pertanyaanya, “Apakah kita mampu memanfaatkan keterbukaan pasar di tengah persaingan yang semakin ketat?” atau dalam bentuk pertanyaan yang lebih praktis, “Mampukah produk Indonesia bersaing di pasar global?”.

Meskipun sudah tidak asing bagi kita melihat membanjirnya produk impor di negara kita, termasuk untuk produk gampangan seperti kerupuk dan keripik, tetap saja menurut hemat saya itu merupakan ongkos yang harus dibayar untuk menjamin diterimanya produk Indonesia di pasar dunia. Lantas, bagaimana kita bersikap?

Kenyataan bahwa perdagangan internasional akan semakin bebas membuat pemerintah dan pelaku bisnis perlu melakukan intropeksi, karena kompetisi akan bermuara pada situasi hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Jika tidak, perdagangan bebas akan mendorong pebisnis Indonesia menjadi pedagang murni. Berbisnis diartikan hanya kulakan barang luar negeri untuk dijual cepat di dalam negeri untuk memperoleh keuntungan jangka pendek. Tidak heran, buah impor ada dimana-mana, kripik ubi dari cina menyerbu supermarket-supermarket besar tanah air, dan yang paling parah, pengusah pabrik tekstil yang gulung tikar berganti bisnis menjadi pedagang tekstil dengan mengimpor dari cina atau Vietnam. Apakah ini tujuan perdagangan internasional yang kita inginkan?

Membangun Daya Saing

Kalau perdagangan tidak dikendalikan dengan baik akan menimbulkan masalah baru. Dengan masih banyaknya pengangguran di Indonesia, jelas value added-nya akan rendah bagi perekonomian bila semua penduduknya hanya berdagang.

Kalau hanya berdagang, maka teknologi dan keahlian anak-anak bangsa tidak tersalurkan dan produk primer hasil pertanian tidak tersalurkan. Padahal, di Fakultas Pertanian Untan saja misalnya, tersedia teknologi dan tenaga ahli yang mumpuni untuk menghasilkan produk olahan pangan, apalagi kalau hanya untuk membuat kripik ubi. Di sepanjang Jalan Budi Utomo (Kecamatan Pontianak Utara) berjejer ubi jalar dan talas yang khas dan bisa diolah menjadi kripik talas atau ‘sweet potatoes chips’ Pontianak yang nikmat.

Pengambil kebijakan atau pemerintah dan pelaku bisnis yang ingin terus meningkatkan kemampuan bersaing dan value added perekonomian nasional tentu tidak cukup hanya mensyukuri berlakunya perdagangan bebas. Handito Hadi Joewono dalam disertasinya “Peningkatan Daya Saing Agroindustri Indonesia” mencantumkan beberapa langkah yang perlu dilakukan, yang diberi nama ‘7 in 1’ Competitiveness Strategy on Agroindustry, yaitu :

1. Peningkatan daya saing agroindustri Indonesia di pasar domestik Indonesia.

2. Keberpihakan kebijakan perdagangan internasional dan bea masuk pada upaya peningkatan daya saing domestik.

3. Meningkatkan keterkaitan antar sektor-sektor yang berhubungan dengan agroindustri melalui sinergi kebijakan lintas sektor.

4. Keterpaduan langkah antara pelaku usaha dan pengelola kebijakan perdagangan dan perindustrian dalam mengoptimalisasi kekuatan daya saing di pasar internasional.

5. Peningkatan keterkaitan sektor primer dan sektor industri pengolahan, khususnya agroindustri melalui sinergi kebijakan dan pemanfaatan input primer dan input yang berasal dari dalam negeri.

6. Pengembangan teknologi dalam rangka meningkatkan produktivitas untuk meningkatkan daya saing di pasar domestik dan internasional.

7. Membangun kesepahaman antara pengelola kebijakan dan pelaku bisnis untuk meningkatkan daya saing di pasar domestik dalam rangka membangun daya saing di pasar internasional.

Selain itu, Handito Hadi Joewono menekankan juga pentingnya menumbuhkan semangat kewirausahaan di kalangan pelaku usaha dan pengelola kebijakan sektor agroindustri.

Kita tidak perlu anti produk asing. Perdagangan bebas internasional tanpa kita sadari juga telah memberi banyak manfaat pada konsumen, dan biarkan hal itu berlangsung sambil menunjukkan keberpihakan pada produk agroindustri dalam negeri. Untuk meningkatkan daya saing bisnis agroindustri Indonesia, pelaku usaha dan pemerintah perlu bergandengan tangan. Pelaku usaha perlu terus meningkatkan kualitas produk, inovasi,produktivitas, jaringan distribusi dan promosi produknya. Pemerintah juga perlu lebih kongkrit menunjukkan keberpihakannya agar agroindustri Indonesia bisa teru maju, sehingga produk olahan aloe vera dan jeruk pontianak menjamur di mall-mall megah di Indonesia, atau kripik talas dan ‘sweet potatoes chips’ khas Pontianak ditempatkan sejajar di rak-rak khusus makanan ringan pada supermarket-supermarket besar di kota ini.

Penulis adalah Mahasiswa Faperta Untan

Aktif di HMJ Sosekta Untan

3 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

PERADILAN INDONESIA: PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap Rp.5,4 jt. (menggunakan uang klaim asuransi milik konsumen) di Polda Jateng
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Maka benarlah statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK). Ini adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen Indonesia yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Sudah tibakah saatnya???

David
HP. (0274)9345675

Unknown mengatakan...

boleh juga tulisan luh tuh!!!
semua itu bisa kita raih, kita bisa bersaing. modal yg plg utama jgn lupa teknologi.

Jimi mengatakan...

bolehlah tulisannya