Rabu, 19 Maret 2008

pendidikan

PENDIDIKAN MODERN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI

Jimi Harries N*

Awal dari milenium baru dan reformasi menjanjikan harapan untuk mempercepat perkembangan sektor pendidikan di Indonesia. Kunci utama yang memicu akan timbulnya harapan baru tersebut berjalan kearah desentralisasi. manajemen pemberdayaan berbasis sekolah, serta masyarakat untuk mempengaruhi hasil (outcomes) sekolah, serta tujuan dari semua sektor pendidikan.Dimasa lalu telah dibentuk sistem komunikasi yang efisien dan efektif untuk menyebarkan informasi ke berbagai semua sektor di kalangan pendidikan. Desentralisasi pendidikan akan membutuhkan paradigma dan peran baru untuk administrasi pendidikan. Komponen utama dalam peran baru ini yaitu meliputi ; monitoring yang efisien, pengidentifikasian kebutuhan dan menempatkan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain untuk menghadapi kebutuhannya.

Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia selalu berkaitan dengan bidang pendidikan. Sumber daya manusia yang berkualitas adalah sumber daya yang dibentuk oleh pendidikan seseorang baik di tingkat Formal maupun Informal. Oleh karena itu, seiring dengan perubahan lingkungan diluar dunia pendidikan, mulai lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, sampai politik mengharuskan dunia pendidikan di Kalimantan Barat memikirkan kembali bagaimana perubahan tersebut mempengaruhinya sebagai sebuah institusi sosial dan bagaimana harus berinteraksi dengan perubahan tersebut. Salah satu perubahan lingkungan yang sangat mempengaruhi dunia pendidikan adalah hadirnya teknologi informasi (TI). TI telah menghadirkan media baru dalam penyebaran informasi, yaitu media digital. Informasi yang tidak lagi disusun atas atom-atom tetapi dalam bit-bit (Negroponte, 1998) telah mempercepat dan mempermudah proses penyebarannya. Media ini pun telah mengubah pola pikir manusia yang merupakan respon terhadap kemasan informasi. Contoh perubahan pola pikir tersebut adalah lahirnya e-mail yang mengubah cara berkirim surat, e-business atau e-commerce yang telah mengubah cara berbisnis dengan segala turunannya, termasuk e-cash atau e-money. E-government telah membuka babak baru pengelolaan pemerintahan dan mekanisme hubungan antara pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat. E-learning menawarkan cakrawala baru proses belajar-mengajar. Perubahan perubahan tersebut terus berlangsung dan dalam beberapa bidang sudah mulai mapan, terutama di negara-negara maju.

Secara makro ada keterikatan antara pendidikan dengan penggunaan teknologi informasi. dalam hubungan ini pendidikan dipandang sebagai alat vital untuk memajukan suatu bangsa menjadi modern serta mempunyai ketangguhan. Dalam pandangan ini pendidikan pun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pengadopsian teknologi informasi yang sekarang telah berkembang dengan pesatnya. Dari golongan keatas hingga menengah kebawah pun tak luput dari TI.. Perbedaan ini semakin lengkap dengan statistik dari Badan Pusat Statistik bahwa untuk Kalimantan Barat belum banyak sekolah yang memiliki fasilitas Komputer, jaringan internet, bahkan hanya baru 30 % sekolah maupun perguruan tinggi yang memiliki akses ini.

Penggunaan Teknologi informasi untuk penyelenggaraan pendidikan khusunya di Kalimantan Barat harus menjadi perhatian serius, bagi setiap insan pendidikan yang ada di Kalimantan Barat. Penggunaan teknologi Informasi ini sangat penting karena mempercepat akses terhadap informasi pendidikan baik didalam maupun diluar. Selain itu juga terdidik dan pendidik memiliki wawasan yang luas tentang apa yang akan maupun apa yang telah dipelajari di bangku pendidikan. Dengan akses teknologi informasi dan komunikasi akan mengangkat citra pendidikan di Kalimantan Barat kerah yang lebih maju. Dengan kemajuan pendidikan disuatu daerah maka akan mendukung peningkatan produktifitas kerjanya.

Data Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa sebanyak 90% SMU dan 95%SMK telah memiliki komputer. Namun demikian, kurang dari 25% SMU dan 10% SMKyang telah terhubungan dengan Internet (Mohandas, 2003). Di tingkat perguruan tinggi, data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi – dalam Pannen (2005) – menunjukkan bahwa kesadaran dalam pemanfaatan TI dalam proses pembelajaran masih sangat rendah. Analisis terhadap proposal teaching grant, baru 29,69% yang memanfatkan mediaberbasis teknologi komputer. Ketersedian media berbasis teknologi informasi juga masih terbatas. Hanya 15,54% perguruan tinggi negeri (PTN) dan 16,09% perguruan tinggiswasta (PTS) yang memiliki ketersediaan media berbasis teknologi informasi. Sekitar16,65% mahasiswa dan 14,59% dosen yang mempunyai akses terhadap teknolog iinformasi. Hasil survei yang melihat pemanfaatan TI pada tahun 2004 menunjukkan bahwa baru 17,01% PTN, 15,44% PTS, 9,65% dosen, dan 16,17% mahasiswa yang memanfaatkan TI dengan baik. Secara keseluruhan statistik ini menunjukkan bahwa adopsi TI dalam dunia pendidikan di Indonesia masih rendah termasuk Kalimantan Barat.Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan (a) bagaimana seharusnya kita memandang TI, termasuk potensi apa yang ditawarkanoleh TI; dan (b) bagaimana peran TI dalam modernisasi/reformasi pendidikan

Yang perlu diperhatikan sejak awal adalah bahwa penggunaan TI tidak sama dengan otomatisasi. TI tidak hanya memecahkan masalah dengan menggantikan pekerjaan yang selama ini dilakukan dengan manual menjadi berbantuan teknologi., maka pemanfaatan TI, menurut Hammer dan Champy (1993),tidak akan membawa perubahan radikal. Cara berpikir deduktif (deductive thinking) seperti ini tidak banyak memunculkan perubahan yang radikal terkait dengan pemanfaatan TI dibandingkan jika berpikir secara induktif (inductive thinking). Orang yang berpikir secara deduktif, pertama kali mencari masalah yang akan dipecahkan dan kemudian mengevaluasi sejumlah alternatif solusi yang akan digunakan. Jika TI ingin dioptimalkan pemanfaatannya dalam organisasi maka manajer/pemimpin harus berpikir induktif. Potensi TI harus dikenali dengan baik terlebih dahulu, kemudian mencari masalah yang mungkin dipecahkan. Masalah ini mungkin bahkan tidak dikenali sebelumnya atau tidak dianggap sebagai masalah.Pertanyaan yang harus dimunculkan bukannya, “Bagaimana kita dapat menggunakan kemampuan TI untuk meningkatkan apa yang telah kita kerjakan?”, tetapi “Bagaimana kita dapat menggunakan TI untuk mengerjakan apa yang belum kita kerjakan?.” Pertanyaan yang pertama lebih terkait dengan otomatisasi, yang juga dapat meningkatkan efisiensi, namun tidak sebaik yang dihasilkan oleh rekayasa-ulang (reengineering) berbantuan TI.

Perubahan tidak selalu menjadikan sesuatu lebih baik,tetapi untuk menjadi lebih baik, sesuatu harus berubah. Menurut Resnick (2002) ada tiga hal penting yang harus dipikirkan ulang terkait dengan modernisasi pendidikan: (1) bagaimana kita belajar (how people learn); (2) apa yang kitapelajari (what people learn); dan (3) kapan dan dimana kita belajar (where and whenpeople learn). Dengan mencermati jawaban atas ketiga pertanyaan ini, dan potensi TI yang bisa dimanfaatkan seperti telah diuraikan sebelumnya, maka peran TI dalam moderninasi pendidikan di Kalimantan Barat dapat dirumuskan..

Pertanyaan pertama, bagaimana kita belajar, terkait dengan metode atau model pembelajaran. Cara berinteraksi antara guru dengan siswa sangat menentukan model pembelajaran. Terkait dengan ini, menurut Pannen (2005), saat ini terjadi perubahan paradigma pembelajaran terkait dengan ketergantungan terhadap guru dan peran guru dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran seharusnya tidak 100% bergantung kepada guru lagi (instructor dependent) tetapi lebih banyak terpusat kepada siswa (student-centered learning atau instructor independent). Guru juga tidak lagi dijadikan satu satunya rujukan semua pengetahuan tetapi lebih sebagai fasilitator atau konsultan (Resnick, 2002)..

Intervensi yang bisa dilakukan TI dalam model pembelajaran ini sangat jelas. Hadirnya e-learning dengan semua variasi tingkatannya telah memfasilitasi perubahan ini. Secara umum, e-learning dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang disampaikan melalui semua media elektronik termasuk, Internet, intranet, extranet, satelit, audio/video tape, TV interaktif, dan CD ROM (Govindasamy, 2002). Menurut Kirkpatrick (2001), e-learning telah mendorong demokratisasi pengajaran dan proses pembelajaran dengan memberikan kendali yang lebih besar dalam pembelajaran kepada siswa. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional seperti termaktub dalam Pasal 4 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.

Dalam era global seperti sekarang ini, setuju atau tidak, mau atau tidak mau, kita harus berhubungan dengan teknologi khususnya teknologi informasi. Hal ini disebabkan karena teknologi tersebut telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, kita sebaiknya tidak ‘gagap’ teknologi. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa siapa yang terlambat menguasai informasi, maka terlambat pulalah memperoleh kesempatan-kesempatan untuk maju.

Informasi sudah merupakan ‘komoditi’ sebagai layaknya barang ekonomi yang lain. Peran informasi menjadi kian besar dan nyata dalam dunia modern seperti sekarang ini. Hal ini bisa dimengerti karena masyarakat sekarang menuju pada era masyarakat informasi (information age) atau masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society). Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis mengajak kita semua untuk tidak alergi dengan teknologi informasi. Dengan teknologi informasi bersama kita majukan pendidikan.

Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Pertanian Untan

Aktif di HMJ HIMASEP Faperta Untan